Oleh: Hamdan Suhaemi
Isu terorisme mulai redup seiring tindakan pencegahan dan penanganan negara melalui peran komprehensif Densus 88, detasemen polisi anti teror ini banyak menuai pujian dari berbagai kalangan, terutama dari kalangan pesantren (Kendri Setiawan : 2014).
Kenapa trend atas isu tersebut menurun, itu karena isunya disaingi oleh politik saat pileg dan pilpres, juga karena mulai tumbuhnya mikro ekonomi, akses infrastruktur semakin bagus, digitalisasi di setiap sektor. Hal tersebut menjadi dasar peralihan paradigmatik dari radikalisme ke arah deradikalisasi.
Namun, belakangan isu intoleransi sempat mencuat di beberapa daerah, meski tidak setinggi eskalasinya dibanding radikalisme, karena perilaku intoleransi itu bukan bagian dari radikalisme an sich, hanya saja tindakan intoleransi akan memicu perlawanannya (Sari Seftiani : 2020).
Intoleransi adalah sikap menutup diri terhadap perbedaan tafsir keagamaan dan menolak prinsip tasamuh (toleransi) dalam Islam. Sikap menolak keberagaman, baik agama, budaya, maupun pandangan politik, yang ditunjukkan melalui perilaku diskriminatif atau ujaran kebencian (Syamsul Arifin : 2015).
Sebenarnya apa yang melatari intoleransi tersebut, Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Politik: Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia, 1999) telah menjelaskan bahwa Intoleransi adalah ketidakmampuan menerima perbedaan dalam kehidupan sosial, sehingga menimbulkan konflik antar-kelompok.
Menurut Komaruddin Hidayat dalam bukunya Passing Over: Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia an-Intoleransi) adalah sikap menolak dan tidak menghargai pandangan hidup atau keyakinan orang lain, yang lahir dari fanatisme dan absolutisme moral.
Mitra pemerintah dalam hal ini adalah FKUB, ia harus terus berupaya, semaksimal mungkin dengan menjaga kondusifitas, pencegahan, penanganan dan tindakan atas intoleransi. FKUB mengurusi perbedaan, menjalin persatuan antar warga, menjaga kerukunan antar umat, membangun peradaban yang etik dan estetik di bawah naungan negara nasional NKRI dengan dasarnya Pancasila dan UUD 1945.
Masing-masing FKUB daerah menghadapi isu yang sama yaitu seputar intoleransi seperti penolakan pendirian tempat ibadah, sentimen SARA di sosial media, penyerbuan atas rumah do’a, dan pengusiran warga yang berbeda agamanya.
FKUB wajib konsisten atas aturan-aturan konstitusional yaitu pada Pasal 28E ayat (1): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya” Pasal 29 ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada Pasal 18 ICCPR: ” Menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan, termasuk freedom to manifest religion or belief in worship, observance, practice and teaching”.
Meski FKUB di seluruh daerah, punya perbedaan karakter dan kekhasan daerah, problematikanya juga beda, cara penanganannya juga pasti beda. FKUB daerah itu hadir untuk memastikan bahwa kehidupan umat beragama harus terlindungi, dipastikan merasa aman dan damai di bawah payung toleransi dengan akarnya bhineka tunggal ika.
Tegal Paku Jajar, 10 September 2025