Banten— Silang pendapat dan ramainya perbincangan media sosial (medsos) tentang pengaturan pengeras suara (toa) masjid oleh Menteri Agama, Yaqut Choilil Coumas, menimbulkan banyaknya masyarakat yang ikut memberi pandangan.
Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI Banten, KH. Imaduddin Utsman, yang harusnya memberikan pendapat tentang tentang pengaturan itu harusnya hanya ulama fikih, bukan aktifis gerakan, karena menurutnya pengaturan toa masjid itu berkaitan dengan permasalahan fikih yang sudah ada didalam khazanah kitab-kitab ulama baik ulama salaf maupun ulama khalaf. Menurut kiai yang juga ketua RMI Banten ini, seharusnya masalah pengaturan itu dibahas di meja mudzakarah ilmiah, bukan di ruang medsos, oleh para pakar fiqih, bukan sekedar penceramah atau aktifis yang kurang faham ilmu fiqih.
“Aturan pengeras suara itu ranahnya ilmu fiqih, yang harus bicara adalah ahli fiqih, bukan sekedar penceramah atau aktifis islam. Nanti yang dikedepankan rasa keagamaan bukan hakikat hukum itu sendiri. Kalau sekarang yang rame debat para aktifis ormas, bahkan orang awam ikut komentar, jadinya rame dan tidak substantif”, katanya, Sabtu (26/2/2022)
Ditanya tentang pendapatnya sendiri tentang pengaturan toa masjid itu, Kiai Imad mengatakan, ia sangat setuju dengan aturan itu, karena secara qiasi, sesuai dengan hadits-hadits Nabi Muhammad SAW cuma tidak eksplisit, karena zaman nabi belum ada toa, yang faham cuma ulama fikih. Contoh ketika Nabi sedang itikaf di masjid, lalu ada yang membaca al-Quran keras lalu Nabi memerintahkan untuk merendahkan suara seraya mengatakan, hendaklah kalian jangan mengganggu orang lain dengan bacaan Qur’an yang keras itu,” terangnya.
Kiai Imad melanjutkan, yang ada dalam aturan Kemenag itu bukan melarang adzan pakai toa, tapi mengatur kapan toa itu boleh dipakai sehingga tidak mengganggu tetangga.
“Disitu gak ada point melarang adzan pakai toa, yang ada melarang mengganggu tetangga pakai toa, misalnya dalam aturan itu diatur gak boleh baca Qur’an tengah malam dengan toa sehingga membuat orang sakit tambah sakit, orang jadi gak bisa tidur dan sebagainya. bahkan dibeberapa tempat ada yang ngaji di kuburan pakai toa sepanjang malam, sampai menganggu orang yang rumahnya pinggir makam, mau ngobrol aja dengan isterinya gak bisa karena suara toa itu kencang”, tambahnya.
“Contoh lagi, di kampung saya ada satu masjid jami dan lima mushala, jaraknya dari pesantren saya itu hanya 100 meter, kalau lagi ngaji sama santri saya harus berhenti lama karena kadang adzannya tidak bareng, yang satu adzan yang satu belum, yang satu berhenti yang satu baru mulai, semuanya terdengar nyaring. itu masih mending cuma adzan, bagaimana kalau pengajian yang sampai dua jam, kanan kiri rumah padat, toanya kencang arahnya ke bawah, pas menghadap rumah orang tentu yang semacam ini perlu diatur”, imbuhnya.
Kiai Imad mengharapkan semua mengedepankan kemaslahatan dan jujur dalam berpendapat bukan karena suka atau tidak suka tapi murni untuk kepentingan bersama.
“Aturan ini sudah bagus. sesuai fiqih dan hadits Nabi, tapi kalau sekira masyarakat belum faham, ya daripada mudarat saling menuduh dan bikin gaduh, menag gak apa apa mengalah, nanti kalau mereka sudah faham akan pentingnya pengaturan ini baru diberlakukan. saya harapkan kepada masyarakat juga jujur dalam berpendapat jangan karena suka tidak suka tapi betul betul karena kemaslahatan bersama”, tutupnya.
Editor: Kang Diens