Oleh: Hamdan Suhaemi
Jiwa dalam pendalaman filsafat idealisme adalah bagian dari sumber utama, selain ide (akal budi) itu sendiri. Sebelum ke materia terlebih dulu narasi idea menyeruak di alam pikiran Yunani. Terutama ketika yang dasar adalah idea, dicetuskan oleh begawan filsafat dunia yaitu Plato. Konsep idea ini lalu dijadikan fokus utama pemahaman filsafat oleh murid-murid Akademia sekitar 380 SM.
Diantara murid Athena yang cemerlang itu bernama Aristoteles, sekira 20 tahun telah membersamai gurunya yaitu Plato dalam upaya kerja filsafat yang kembali ke basis epistemologis, dan cenderung ontologis. Daya bantu Aristoteles terhadap konsep Plato tentang idea sangat diperhitungkan, hingga sebarannya ke wilayah Macedonia, dan Ionina.
Murid Plato satu ini (Aristoteles) begitu berbakat untuk mengenalkan konsep idea ke publik Yunani, terutama ketika menemukan pemikiran tentang jiwa hingga mengulasnya lewat tulisan-tulisan yang kemudian terkumpul dalam satu buku yang diberi judul “de Anima”. Dalam buku tersebut Aristoteles sesuai ajaran Plato menjelaskan bahwa jiwa dan badan dianggap sebagai dua aspek yang menyangkut satu substansi saja, dua aspek mempunyai hubungan satu sama lain sebagai materi dan bentuk, demikian pun makhluk fisis yang mempunyai psykhi terdiri dari materi dan bentuk.
Kees Bartens dalam bukunya Sejarah Filsafat Yunani, seperti yang telah diajarkan oleh Plato sang begawan idealisme dunia kepada terkhusus Aristoteles sangat detil mendefinisikan jiwa sebagai aktus pertama dari suatu badan organis, sekaligus aktus yang paling fundamental. Aktus itu entelekheia (nalar).
Diantara filsuf Yunani Kuno yang berani mengidentifikasi jiwa sebagai sesuatu yang perenial (abadi) itu Pythagoras. Baginya jiwa itu tidak akan mati meski manusia mengalami kematian, ada perpindahan dari satu jasad ke jasad lainnya. Pemikiran sederhana dan klasik dari Pythagoras ini cikal ajaran reinkarnasi berkembang belakangan di dunia terutama dianut kebanyakan bangsa-bangsa yang berperadaban mohenjodaro, seperti India, Nepal, dan Tibet.
Lalu, Alexander Lanur dalam pendalamannya atas idealisme memberi penjelasan yang mengacu pada episteme, meski kadang kalangan filsuf idealisme kebanyakan lebih kepada doxa, bukan episteme. Lanur menjelaskan bahwa jiwa adalah suatu kenyataan yang intrinsik bersifat rohani, yang secara intrinsik tidak tergantung pada materia (bentuk yang nampak), namun eksistensi jiwa terdapat pada materia. Ini juga sering diungkapkan oleh Plato saat di Athena, bahwa psykes berasal dari nous (jiwa), selanjutnya nous berasal dari yang maha esa.
Ternyata pemahaman atas jiwa ini telah melewati kurun waktu yang sangat panjang sejak mangkatnya Plato sekira tahun 360 SM, diteruskan jejaknya oleh Plotinus sambil merujuk “de Anima” Aristoteles saat 100 tahun pasca lahirnya Isa al-Masih, hingga menjadi “endemi” pemikiran tentang jiwa, lalu menyebar ke seantero dunia, terutama ke negeri Baghdad di tahun 700-an hingga di tahun 900-an Masehi, oleh orang-orang Persia yang sangat terbuka atas ilmu pengetahuan dan falsafah.
Saat Baghdad di tahun 800 M adalah menjadi center of excellence dari sebuah peradaban Islam yang cemerlang, karena juga kehendak zaman era itu adalah era dimulainya Aufklarung (pencerahan ilmu dan falsafah) dalam dunia Islam. Diantara tokoh filsuf yang lahir ketika Baghdad sudah sangat maju, terdapat filsuf bernama al-Kindi yang telah menginisiasi penyebaran filsafat sebagai acuan pembahasan agama.
Al-Kindi, satu diantara filsuf besar Islam di abad 8 M telah melakukan upaya-upaya besar, menggariskan pandangannya bahwa jiwa adalah tunggal dan bersifat sempurna dan mulia, esensinya berasal dari esensi sang pencipta. Sementara diantara itu tokoh ulama besar adalah Ibnul Qayyim Al-Juziyah, dalam kitabnya “al-Ruh” telah mengatakan bahwa ada perbedaan antara jiwa (nafs) dan roh, perbedaan itu terletak pada sifat bukan pada zatnya dan sesungguhnya jiwa bisa dikatakan darah, karena keluarnya jiwa ketika matinya orang yang bersamaan dengan hilangnya darah.
Al-Juziyah menyimpulkan bahwa roh adalah lahutiyah sementara jiwa (nafs) adalah nasutiyah, kemudian ada diantara ulama yang sejalan dengan Al-Juziyah berpendapat bahwa roh itu adalah Nuriyah ruhaniyah, sedangkan jiwa (an-nafs) adalah kiniyah nariyah. Alhasil jiwa adalah sebagian motor penggerak terjadinya kehidupan.
Serang, 7-11-2022