Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen
Salah satu argumen andalan Klan Habib Baalwi dan para budaknya supaya umat tetap percaya habib bagian dari dzurriyah Rasul adalah ulama Nusantara terdahulu mengakui nasab habib. Ulama yang disebutkan di antaranya Syaikh Nawawi Banten, Hadratussyaikh Hasyim Asyari, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Maimoen Zubair. KH. Imaduddin Utsman dan tokoh-tokoh lain sudah membahas dan mematahkan argumen tersebut bahwa tidak ada bukti dan tidak benar ulama-ulama tersebut mengitsbat Klan Habib Baalwi sebagai cucu Nabi. Terlepas dari itu, perilaku Klan Habib Baalwi dan para budaknya menggunakan ulama-ulama Nusantara terdahulu sebagai tameng, sembunyi-sembunyi memuat tuduhan final bahwa kualitas jiwa ulama-ulama tersebut kerdil dan karenanya justru mereka telah melecehkan kepribadian para ulama tersebut.
Bagaimana bisa?
Dalam pernyataan ‘ulama terdahulu mengakui nasab habib oleh karenanya umat wajib percaya dan yang menentang telah merendahkan ulama tersebut’ (atau statement semacam itu) terkandung asumsi bahwa ulama-ulama tersebut andai masih hidup menyaksikan polemik terputusnya nasab habib hari ini, kualitas kepribadian ulama-ulama yang disebutkan memproduksi sikap dan keputusan yang sudah pasti menolak secara keras tesis Kyai Imad yang menyatakan habib bukan cucu Nabi bahkan mustahil cucu Nabi yang juga diamini kajian genetic genealogy (DNA) dan didukung kajian filologi.
Oleh Klan Habib Baalwi dan budaknya, ulama-ulama NU dikarikaturkan berkepribadian keras kepala, otoriter, intimidatif, menolak mendengar, menolak mengkaji ulang, menolak berdialog, bersiteguh bahwa pendapatnyalah satu-satunya yang pasti benar dan menolak merevisi pendapatnya tentang sesuatu sekalipun telah tiba padanya hujjah yang membuktikan pendapatnya salah; dan tega hatinya menindas murid-muridnya dengan mengatakan haram berbeda pendapat dengannya semata-mata karena dirinya adalah guru, ulama besar dan senior. Serta pula oleh Klan Habib Baalwi dan para budaknya, umat diyakinkan dan dididik memandang bahwa beliau-beliau sosok-sosok yang berkepribadian suka meremehkan orang lain, pemarah, mudah tersinggung, tukang ngamuk, sedikit-sedikit murka, apabila ada orang yang menyelisihi pendapatnya (pikirannya) atau mengkoreksinya. Di mana kepribadian seperti itu merupakan kepribadian manusia-manusia yang kerdil kualitas dan kapasitas jiwanya. Kualitas-kualitas serendah dan seburuk itu yang Klan Habib Baalwi dan para budaknya sematkan secara sembunyi-sembunyi kepada ulama-ulama Nusantara tersebut dan mendoktrin umat bahwa benar ulama-ulama Nusantara berkepribadian serendah dan sekerdil itu.
Mengambil titik puncak yang kita ketahui mengenai pencapaian kualitas ilmu dan kepribadian ulama-ulama yang disebutkan, lalu kualitas itu kita bawa ke masa kini dalam polemik nasab dan kejahatan habib, masak iya ulama-ulama yang disebutkan itu akan menunjukkan sikap-sikap yang menggambarkan kualitas kepribadian rendah dan kerdil? Penulis sendiri melihatnya sebagai sesuatu yang tidak mungkin sebab jika demikian mustahil mereka mencapai maqam spiritual yang ditibainya. Sedangkan, faktanya mereka mencapai maqam sedemikian tinggi. Artinya, asumsi-asumsi Klan Habib Baalwi dan para budaknya mengenai sikap yang akan diambil ulama-ulama tersebut salah total terbantahkan oleh fakta itu.
Mari kita ambil keadaan titik puncak pencapaian kualitas ilmu dan kepribadian ulama-ulama tersebut lalu kualitas itu kita simulasikan ke masa kini dalam konteks polemik habib bukan cucu nabi. Maka, andai mereka masih hidup saat ini mereka akan gembira mendapati hujjah-hujjah dari tesis Kyai Imad, kajian DNA Dr. Sugeng Sugiharti, dan kajian filologi Prof. Menachem Ali, yang membuktikan habib bukan cucu Nabi melainkan cucu Yuya. Sangat sukar diterima dan dibayangkan ulama-ulama tersebut menolak lantas kemudian mencibir, merendahkan, mencacimaki, sebagaimana perilaku yang ditunjukkan Klan Habib Baalwi dan para budaknya.
Kualitas kepribadian mereka menghalangi mereka untuk menolak mentah-mentah hujjah-hujjah itu semata-mata hanya karena dirinya lebih senior, lebih tua usianya, lebih besar nama dan pengaruhnya atau karena memiliki hubungan emosional dengan Klan Habib Baalwi. Jika pun sangsi dengan kesimpulan ilmiah habib bukan cucu nabi—setidak-tidaknya, beliau-beliau akan mempelajarinya, menelitinya sendiri dan memutuskannya sendiri berdasar kajiannya sendiri. Jika pun kemudian, andai, kesimpulan hasil penelitian beliau berbeda dengan hasil kajian Kyai Imad, Dr. Sugeng Sugiharto, dan Prof. Menachem Ali, apa yang paling mungkin akan mereka lakukan? Saya jawab: mereka akan mengajak berdialog dengan baik-baik, bertukar pikiran, bertukar data—berdialektika hingga mencapai kesimpulan yang paling mendekati kebenaran. Tidak lantas berkata: “Engkau telah melecehkanku karena menyelisihi pendapatku. Engkau kualat! Su’ul adab!” Ulama, pengasuh dan pendidik macam apa yang berkepribadian semacam itu. Penulis tegaskan sekali lagi: penulis menilai tidaklah mungkin ulama-ulama Nusantara yang dijadikan tameng oleh Klan Habib Baalwi dan para budaknya—akan bersikap serendah dan sekerdil itu. Ulama kita, ulama Nusantara, adalah ulama besar!
Ulama-ulama tersebut diakui sebagai ulama besar karena ilmu dan kepribadiannya matang yang kemudian memanifestasi dalam laku pikiran, keputusan sikap dan perilakunya. Lantas kita menyaksikannya dan mengenalinya sebagai tokoh-tokoh besar yang patut diteladani. Tokoh-tokoh besar sudah barang tentu berjiwa besar. Jiwa-jiwa yang besar sudah tidak lagi peduli tentang eksistensi diri dan pikirannya (pendapatnya) an sich. Ia tiba pada kesadaran bahwa tidak ada pikiran dan perasaan yang ditenagai ego ke-aku-an yang mesti mati-matian dipertahankan. Pada pribadi-pribadi yang jiwanya besar, tidak ada apa pun yang harus dipertahankan pada dirinya sendiri kecuali tentang kebenaran itu sendiri. Yang ia tuju adalah kebenaran itu sendiri, mencapai kebenaran itu sendiri, memperoleh kebenaran itu sendiri. Maka jika ia terbukti salah dengan ringan hati ia mengakui dan merevisinya lalu mengadopsi apa yang benar atau lebih benar.
Mbah-mbah kita itu, ulama Nusantara, adalah sosok-sosok dengan kepribadian besar. Bermuasal dari jiwa-jiwa dan akal-akal raksasa yang ditenagai kemurnian-kemurnian etis akibat dari thaharoh batin ihsan ‘kesadaran selalu di hadapan ditatap-menatap Allah Swt dan Rasulullah Saw’ pada level intensitas yang tinggi. Keadaan jiwa dan akal raksasa nan murni yang begitu juga terlihat jelas dari ulama-ulama besar yang populer kita kenali. Mari kita lihat ungkapan ulama-ulama yang menggambarkan jiwa-jiwa besar dan akal-akal raksasa itu:
Imam Abu Hanifah berkata, “Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Quran dan hadits Rasulullah Saw, tinggalkanlah pendapatku itu.” (Al-Iqazh, Shalih Al-Fulani, 50)[1]. Perhatikan: tinggalkanlah pendapatku.
Imam Malik bin Anas berkata, “Saya hanyalah seorang manusia, terkadang salah, terkadang benar. Oleh karena itu, telitilah pendapatku. Bila sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, ambillah; dan bila tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah, tinggalkanlah.” (Ushul Ahkam, Ibnu Abdil Barr, 6/419; Al Iqash, Shalil Al-Fulani, 72)[2]. Perhatikan: … telitilah pendapatku… tinggalkanlah…
Imam Malik bin Anas berkata, “Tak seorang pun—setelah Nabi Saw—kecuali dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya, kecuali hanya Nabi Saw.” (Irsyadus Salik, Ibnu Abdil Hadi, 1/227; Al Jami’, Ibnu Abdil Barr, 2/91; Ushulul Ahkam, Ibnu Hazm, 6/145)[3]. Perhatikan: tak seorang pun… itu juga termasuk dirinya… dapat diambil dan ditinggalkan perkataannya kecuali hanya Nabi Saw.
KH. Imaduddin Utsman Al Bantan[4]i mengutip ucapan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din: “Tidak seorang pun kecuali ilmunya dapat diterima atau ditolak kecuali Rasulullah Saw.” (Ihya Ulum al-Din, Maktabah Syamilah, 1/78).
“Kalian lebih tahu tentang hadits dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu shahih, beritahukanlah kepadaku biar di mana pun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah, atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.” (Ucapan Imam Asy-Syafi’i kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Adabu Asy-Syafi’i, 94-95; Al-Hilyah, Abu Nu’aim, 9/106; Al-Ihtijaj, Al-Khatib, 8/1; Manaqib Imam Ahmad, 499)[5]. Perhatikan: kalian lebih tahu… daripada aku.
Imam Syafii: “Bila setiap persoalan ada hadits shahihnya dari Rasulullah Saw menurut kalangan ahli hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.” (Al-Hilyah, Abu Nu’aim, 9/107; Al-Harawi, 47/1; I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/363, Al-Iqaz, Shalih al-Fulani, 104)[6]. Mohon memperhatikan: … tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati. Penulis ulangi untuk memberi tekanan: pasti aku akan mencabutnya baik selama aku hidup maupun setelah mati. Itu Imam Syafii lho yang bilang, salah satu Imam Mazhab yang Anda (kita) ikuti.
Imam Syafii: “Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi Saw yang shahih, ketahuilah bahwa itu berarti pendapatku tidak berguna.” (Adabu asy-Syafi’i, Ibnu Abi Hatim, 93; Al-Amali, Abul Qasim as-Samarqandi, 1/234; Al-Hilyah, Abu Nu’aim, 9/106)[7]. Perhatikan: … pendapatku tidak berguna.
Imam Ahmad bin Hanbal: “Janganlah engkau taklid kepadaku atau kepada Malik, asy-Syafii, Al-Auza’i, dan ast-Tsauri, tetapi ambillah dari sumber mereka mengambil.” (Al-Fulani, 113; I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim, 2/302)[8]. Perhatikan: jangan engkau taklid kepadaku atau kepada…
Umar bin Khattab berkhutbah di hadapan rakyatnya: “Wahai manusia, siapa yang melihat kebengkokan pada diriku, hendaklah ia meluruskannya!” Seorang lelaki kemudian berkata, “Demi Allah, seandainya kami melihat kebengkokan pada dirimu, kami akan meluruskannya dengan pedang.” Mendengar jawaban itu, Umar berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan pada umat ini orang yang mau meluruskan kebengkokan Umar dengan pedangnya.” Umar pernah berkata, “Orang yang paling kucintai adalah dia yang mau menunjukkan kesalahan-kesalahanku.” Dalam kesempatan lain, Umar juga pernah mengatakan, “Aku khawatir jika aku melakukan suatu kesalahan, lantas tidak ada seorang pun dari kalian yang mengingatkanku, disebabkan rasa segannya padaku.”[9]
Rasulullah Saw suatu ketika memberi saran kepada petani kurma yang kemudian hari terbukti menyebabkan gagal panen. Rasulullah Saw berkata, “Sungguh aku hanya mengira-ngira. Karena itu, tak usah kau ambil perkiraanku. Tetapi bila aku berbicara sedikit saja yang berkaitan dengan Allah, ambil dan pegangilah.”[10] Dari peristiwa itu muncullah hadist populer antum a’lamu bi umuri (/amri) dun’yakum.
Sedikit saya insert ungkapan Buddha Gautama sebagai pengayaan: “Jangan percaya hal apa pun hanya karena kamu telah mendengarnya. Jangan percaya hal apa pun hanya karena hal itu telah dibicarakan dan digunjingkan oleh banyak orang. Jangan percaya hal apa pun hanya karena hal itu tertulis dalam kitab-kitab keagamaanmu. Jangan percaya hal apa pun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu. Jangan percaya tradisi apa pun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Tetapi setelah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apa pun sejalan dengan akal-budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah itu dan jalankanlah.”[11]
Begitulah kepribadian jiwa-jiwa raksasa, akal-akal raksasa, batin-batin yang murni. Yang utama bagi mereka adalah kebenaran itu sendiri. Mereka mendorong, mempersilahkan serta membimbing orang lain menjalani perjalanannya sendiri supaya tiba menyaksikan sendiri kebenaran itu, tidak hanya dan tidak harus berhenti pada percaya apa yang dikatakannya. Tibailah sendiri, temuilah sendiri, alami sendiri! Begitulah jiwa-jiwa yang besar. Jiwa-jiwa yang besar juga tidak mudah terluka dan tidak mudah tersinggung hanya karena diselisihi pikirannya dan ucapannya atau karena ia dikoreksi orang lain. Jiwa-jiwa yang besar justru berterimakasih kesalahannya ditunjukkan dan diberitahu apa yang benar atau lebih benar karena itu baginya membuat kualitas dirinya lebih indah di hadapan Allah Swt dan Rasulullah Saw. Orientasi jiwa Mbah-Mbah kita itu begitu itu: Allah dan Rasulullah.
Selain tuduhan berjiwa rendah dan kerdil, Klan Habib Baalwi dan para budaknya menuduh ulama-ulama kita ngajinya tidak jauh dan mendalam sehingga tidak menemui dan memahami kalam-kalam ulama di atas. Lebih jauh daripada itu, laku tirakat mbah-mbah kita dituduh dan dinilai tidak matang sehingga dipasti-pastikan keadaan batinnya terhijab (tersabotase) oleh ego, pikiran, dan perasaannya sendiri. Itu perendahan dan pelecehan. Naudzubillahi min dzalik.
Kalau penulis, mungkin juga Kyai Imad dkk serta kita semua, memandang mbah-mbah kita itu sosok-sosok yang berjiwa besar, berakal raksasa, gagah mentalitasnya, yang bersamaan dengan itu memandang manusia dengan pandangan kasih sayang dan kepengayoman, tegak berdiri pada keadilan dan kebenaran. Jadi, ngga mungkin bersikap serendah dan sehina sebagaimana disematkan secara sembunyi-sembunyi oleh Klan Habib Baalwi dan para budaknya. Makanya kami tak gentar dan santai-santai saja di-vis-a-viskan dengan ulama-ulama NU terdahulu. “Wong mbah mbahku dewe, pasti sayang dan cinta kepadaku, ndak mungkin jahat. Mentok-mentok aku diomongi “Oo dasar, putuku mbeling” sambil mereka terkekeh-kekeh gembira”. Tak seperti orang-orang TAI (Tarim Institute) itu yang dipenuhi kekejaman psikologis, Santri NU memiliki kemesraan yang indah dengan para leluhurnya.
Penulis dan kami (kita) bukan lagi husnudzan tapi yakin pasti berdasar algoritma kepribadian yang bisa kita baca dari sejarahnya, mbah-mbah kita itu rileks-rileks saja melihat kita hari ini yang memberi keterangan habib bukan cucu nabi melainkan cucu Yuya dukun Firaun dan berjibaku meng-counter ajaran dan kelakuan sesat Sekte Klan Habib Baalwi TAI (Tarim Institute). Mereka senyam-senyum memandangi kita dengan tatapan kasih sayang, menatap bangga, menepuki punggung kita, “Apik, Cung! Aku ngedidik ketok hasile. Santri-santri NU yo kudu ngunu. Kudu pinter lan wani.” Gak percaya mereka bersikap begitu? Ya, sana, buktikan aja. Monggo berangkat duluan ke akhirat lalu kabari kami hasilnya.
Tapi kalau saya akan menjunjung dan memuliakan: Sorry ya! Kualitas kepribadian Mbah-Mbah Nusantara ngga seperti kualitas manusia-manusia TAI (Tarim Institute), Bos! Jauuuhhh! Ngga sekelingking kaki pun. Jauh, jauh, jauh!
Sekarang kita balik bertanya.
Kalau hari ini Mbah Nawawi Banten, Mbah Hasyim Asyari, Mbah Wahhab, Mbah Maimoen Zubair, Mbah Abdul Karim Banten Geger Cilegon, dan Mbah-Mbah kita lainnya, menyaksikan fakta-fakta kelakuan Klan Habib Baalwi secara lengkap dan mendalam mengenai pengubahan makam-makam leluhur Nusantara, pengubahan sejarah Nusantara, penyebarran doktrin-doktrin sesat dan cerita khurafat yang melecehkan Kanjeng Nabi, propaganda Jawa bintu Tarim—Indonesia milik aulia Tarim, serta berbagai upaya penjajahan lainnya dan penindasan pada pribumi Nusantara. Mari sama-sama bertanya: Bagaimana pikiran dan perasaan mereka? Apa yang akan mereka lakukan kepada Klan Habib Baalwi dan budak-budaknya? Atau, apa yang akan mereka fatwakan kepada kita hari ini?
Mari dapatkan jawabannya.
Kalau perlu tirakat untuk memperoleh jawabannya, ya tirakat. Kalau perlu matek aji, matek aji. Kalau perlu mutih, ya mutih. Kalau perlu poso pati geni, ya jalani saja. Santri NU kan begitu. Kita kan bukan Santri TAI (Tarim Institute).
Kalau saya sudah dapat jawaban.
Selamat Hari Santri.
[1] https://www.dakwah.id/imam-mazhab-mengimbau-umat/
[2] ibid.
[3] ibid.
[4] https://rminubanten.or.id/menanggapi-kata-pengantar-muhammad-najih-sarang-di-buku-resmi-rabitah-alwiyyah/
[5] https://www.dakwah.id/imam-mazhab-mengimbau-umat/
[6] ibid.
[7] ibid.
[8] ibid.
[9] https://www.islampos.com/umar-orang-yang-paling-kucintai-adalah-dia-yang-menunjukkan-kesalahanku-169017/
[10] https://nu.or.id/sirah-nabawiyah/perhatian-nabi-muhammad-pada-urusan-pertanian-IBpG2
[11] https://www.goodreads.com/quotes/8728578-jangan-percaya-hal-apapun-hanya-karena-kamu-telah-mendengarnya-jangan